Dalam sidang kabinet paripurna hari Jumat pagi (2/12), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegur para menteri yang tidak lekas menanggapi kejadian-kejadian yang berada di bawah tanggungjawab kementerian yang dipimpin. Menurut Presiden, hal tersebut dapat berakibat pada laporan yang tidak akurat kepada masyarakat.
Ia mencontohkan, laporan dari Channel News Asia (media asing yang berbasis di Singapura) yang mengatakan bahwa aparat TNI menembak pengibar bendera bintang kejora, pada perayaan ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM), pada Kamis, 1 Desember.
Presiden Yudhoyono mengatakan, “Kemarin, menjelang acara dengan Presiden Jerman pada malam hari, saya sempat melihat running text di Channel News Asia yg dibaca oleh masyarakat dunia mencakup situasi di Papua, yang seolah-olah tentara kita melakukan penembakan-penambakan terhadap pengibar bendara (bintang kejora) yang tidak semestinya. Terhadap hal sangat sensitif itu harus cepat, beri tahu saya, kalau tidak tepat berita itu segera koreksi. Jangan sampai berjam-jam masyarakat global mengetahui ada tindakan keliru dari pemerintah Indonesia.”
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Djoko Suyanto, meminta media massa juga bersedia melakukan klarifikasi kepada pejabat terkait. Tembakan peringatan, kata Djoko, dilakukan oleh Polri karena masyarakat sudah mengibarkan bendera bintang kejora; sesuatu yang dianggap tindakan makar oleh polisi dan tentara.
”Kalau ada berita yang dianggap tidak benar maka harus ada pelurusan, meskipun itu berita ’lurus’ sekalipun tetap harus diklarifikasi oleh pejabat bersangkutan. Seperti kemarin dari berita yang dilansir, katanya ada penembakan oleh TNI, kan tidak ada disitu. Ada memang tembakan peringatan oleh Pori. Tidak cuma media asing, tetapi juga media nasional,” papar Djoko Suyanto.
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, kepada VOA, berpendapat aparat TNI dan Polri sering menggunakan tindakan represif untuk membubarkan massa. Imparsial adalah lembaga pemantau pelaksanaan HAM di Indonesia.
Poengky Indarti mengatakan, ”Tindakan represif jika dilihat dari kasus-kasus yang terjadi selama ini, tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru akan semakin menguatkan kebencian orang Papua terhadap Indonesia. Wajah Indonesia kan dilihat juga dari aparat pemerintahnya. Mereka nanti memandang Indonesia dengan kengerian, bukan bersahabat satu tanah air Indonesia.”
Soal pengibaran bendera bintang kejora, Poengky menilai sebetulnya tidak masalah karena itu tidak lebih dari simbol budaya orang Papua. Namun, kebijakan pemerintah yang berubah-ubah menyebabkan tudingan makar dialamatkan pada orang Papua, disertai label identitas ”separatis”, sama halnya dengan pengibaran bendera Gerakan Aceh Merdeka dulu, sebelum perjanjian damai Helsinki dicapai.
Poengky menambahkan, ”Dulu pada masa (pemerintahan Presiden) Gus Dur, pengibaran bendera bintang kejora diperbolehkan karena hanya dianggap sebagai simbol kultur, berdampingan dengan bendera merah putih. Orang Papua juga diizinkan menyanyikan lagu ”Hai, Tanahku Papua”. Dulu bisa berjalan dengan baik, dan tidak dilihat sebagai tindakan separatis,”
Menurut Poengky, pendekatan kesejahteraan yang direncanakan Presiden SBY untuk Papua bisa berjalan baik, hanya apabila disertai dengan pendekatan empati dan kemanusiaan. sumber www.voanews.com